Rabu, 29 Juni 2022

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN, ADMINISTRASI PUBLIK DAN KARYA ILMIAH

 

Filsafat adalah metode yang mengatur bagaimana kita bijak dalam menggunakan ilmu. Dalam filsafat ilmu, administrasi dikenal sebagai artistic sciences karena aplikasinya, seni masih memegang peran yang menentukan. Sebaliknya, seni administrasi dikenal sebagai scientific art karena didasarkan pada sekelompok prinsip yang telah teruji "kebenarannya". Melalui administrasi, administrasi publik dalam konteks filsafat ilmu, adalah sifat apa  yang diteliti dari aspek bagaimana proses administrasi publik dikelola dengan baik untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan umum.

Filsafat adalah metode yang mengatur bagaimana kita bijak dalam menggunakan sebuah ilmu. Menurut Henderson dalam Sadulloh, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya mengenai segala sesuatu yang ada. Menurut Sardar ilmu atau sains adalah cara mempelajari alam secara obyektif dan sistematik serta ilmu merupakan suatu aktifitas manusia. Garapan dalam kefilsafatan keilmuan, dibagi ke dalam beberapa komponen bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. (1) Ontologi diartikan tentang bagaimana mencari hakikat kebenaran dan kenyataan dalam keilmuan mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. Hakim dan Saebani menyebutkan bahwa ontologi adalah teori hakikat yang mempertanyakan setiap eksistensi, yang dimana berperan sebagai basis pondasi bangunan dasar bagi keilmuan. (2) Epistemologi berfungsi bagaimana kebenaran itu diartikan dalam mencapai pengetahuan (ilmiah). Maka epistimologi berfungsi mengatur perbedaan pengartikulasian keilmuan ke dalam ruang-ruang keilmuan normatif. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan, yang nantinya akan dijadikan landasan berfikir. Sehingga penentuan ruang yang kita pilih akan menjadi akal, akal budi, pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi. (3) Akslologi berperan sebagai sistem yang mengatur pelaksanaan keilmuan ke dalam bentuk nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan kehidupan pencarian keilmuan. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu yang wajib dipatuhi, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.

 

Keilmuan mempelajari ilmu administrasi dalam penerapanya dilakukan dengan pendekatan yang harus diutamakan. Menurut Achmad ada dua pendekatan utama yakni pendekatan ilmu (scientific approach) dan pendekatan manusiawi (human approach). Untuk mencapai kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan modern harus mengutamakan pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula dalam adminitrasi perlu pembinaan dan pengembangan, antara lain dengan menerapkan filsafat administrasi yang sesuai dengan faktor-faktor lingkungan, bangsa dan Negara. Maka sudah seharusnya paradigma keilmuan yang dibentuk harus menempati posisi yang sangat penting dalam pemandu-gerak keilmuan administrasi.

 

Secara basis ontologi bahwa pengembangan keilmuan administrasi publik dalam konteks filsafat ilmu administrasi, adalah hakikat apa yang dikaji dari aspek bagaimana proses administrasi publik dikelola secara baik untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Maka disini birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non- pemerintah yang berperan terlibat dalam menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain secara kolektif.

 

Filsafat ilmu pengetahuan memiliki hakekat tertentu dalam upaya menegakkan kebenaran ilmu itu. Pengetahuan yang menjadi ilmu itu adalah ilmiah (scientific) dan objektif (objective). Filsafat yang dibangun dalam sistem pemikiran ilmu administrasi mengacu pada pola pikir secara sistemik dalam bentuk berpikir holistik, berpikir teoritikal, berpikir menggunakan ilmu, berpikir perubahan, berpikir atas ketidak setujuan, berpikir dan berlaku etis, pemanfaatan pengetahuan, dan uji ilmu. Filsafat pemikiran yang membentuk pola pikir sistemik yang dimakud merupakan sebuah kerangka bangun yang logik dengan dukungan nalar yang tinggi dalam rangkaian pemikiran ilmu administrasi. Secara umum dapat kita lihat dari 8 (delapan) aspek berikut :

 

1.             Berpikir Holistik

Salah satu ciri khas pemikiran filsafat ilmu administrasi adalah berfikir holistik yaitu cara berpikir yang mencakup keseluruhan atau berorientasi penggambaran yang menyeluruh atau mengutuhkan (tidak terlepas-lepas, atau terpisah-pisah) tentang realitas. Pemikiran secara holistik melekatkan diri pada pendekatan pengetahuan filosofis yang khas sifatnya. Sifat pengetahuan menyeluruh (holistic/integrative) dan mendasar (fundamental) dengan model pemikiran yang analitis, kritis dan spekulatif.

 

2.    Berpikir Teoritikal

Berpikir teoritikal adalah suatu pemikiran yang mengarah kepada suatu landasan berpikir yang menjelaskan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Lorens bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Dan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Fakta ilmiah adalah dasar bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta itu bangunan teoritis mustahil. Fakta - fakta ilmiah dari ilmu administarasi secara teoritis berpikir mengarah dan menunjukkan pada pengetahuan manusia/masyarakat tentang fakta obyektif administrasi. Bagaimana kita berpikir secara teoritikal administrasi itu sesuai dengan perkembangan, perubahan, dan pergeseran- pergeseran yang terjadi.

3. Berpikir Menggunakan Ilmu

Mengggunakan ilmu itu tentang bagaimana suatu ilmu itu dipakai dan diterapkan sebagai wujud pengejahwantaan dari ilmu itu sendiri berdasarkan kepada kenyataan dan kebenaran dan tidak menimbulkan keraguan dalam tingkatan kepercayaan penerapannya, karena didukung oleh fakta-fakta empirikal sebagai sebuah ilmu. Salah satu hal yang dianggap mengganggu dalam perkembangan administrasi negara adalah masih terdapatnya keragu-raguan tentang apakah administrasi negara itu merupakan suatu ilmu atau belum merupakan ilmu.

 

4. Berpikir Perubahan

Perubahan mendatangkan pengaruh yang sangat besar dan tidak dapat dihindari oleh siapapun dan menembus setiap lapisan masyarakat dan dunia ilmu maupun teknologi, yang sekaligus merubah cara berpikir manusia seiring dengan perubahan yang terjadi. Dengan demikian berarti bahwa manusia perlu senantiasa “berubah” sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri. Perubahan yang dimaksud meliputi misalnya perubahan dalam prilaku, perubahan dalam sistem nilai, penilaian perubahan dalam metode dan cara-cara bekerja, perubahan dalam peralatan yang digunakan, perubahan dalam cara berfikir, dan perubahan dalam hal bersikap. Singkat kata, manusia perlu senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan perubahan.

 

5. Berpikir Atas Ketidak Setujuan

Dalam setiap pola pemikiran tentu saja terdapat perbedaan-perbedaan pandangan dalam memandang dan menganalisis suatu objek yang menjadi sorotan atau fokus perwujudan di tingkat ilmu pengetahuan. Pengakuan dan penolakkan terhadap sesuatu konsep, teori, postulat, dan dalil-dalil tentunya didukung dengan sistem pemikiran yang logik dan rasional. Sistem berpikir selain diagung-agungkan ada juga yang menolak dan meberikan kritikan.

 

6. Berpikir dan Berlaku Etis

Setiap manusia (individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat) selalu menginginkan cara-cara berpikir dan berlaku etis dalam tatanan kehidupan sosial yang teratur dan menganut nilai-nilai yang mengatur jalannya proses hubungan manusia dalam hidupnya maupun dalam ilmu pengetahuannya, yakni nilai keindahan, kesenian, kebaikan, etis-moral. Maka manusia berpikir secara etis, yaitu berpikir filsafati tentang hal yang baik dan yang buruk menurut tolak ukur etis moral yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Salah satu kunci keberhasilan dalam proses berfikir dan bertindak di bidang admnistrasi adalah dasar bangunannya, yaitu pemikiran ilmiah dan kemahiran bertindak dalam aktivitas administrasi.

 

7. Pemanfaatan Pengetahuan

Pemanfaatan pengetahuan mendasari dan terkait dengan kualifikasi masyarakat yang maju dan mandiri yang mampu memanfaatkan pengetahuan sebagai dasar pijak membangun kemajuan diri dalam pembangunan. Masyarakat yang maju dan mandiri adalah masyarakat yang mampu mengurus dirinya sendiri (swadiri), membiayai keperluan sendiri (swadana), dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (swasembada).

 

8. Uji Ilmu

Pengujian ilmu mengarah pada uji penalaran dengan melihat data sebagai fakta karena itu seseorang yang menalar akan perlu memiliki pengetahuan tentang data. Data yang bersumber dari konsep-konsep itu juga perlulah dipilih sesuai dengan keperluan ataupun dipilah-pilah menurut kriteria tertentu, agar dapat dipahami melalui analisis yang dilakukan. Pengujian ilmu dapat ditelusuri pula dengan penalaran deduktif dilakukan atas pertimbangan dan dasar menurut prinsip tertentu, kaidah ataupun teori yang berlaku umum kepada sesuatu yang khusus, karena itu pula deduksi tidak dapat menghasilkan kaidah yang baru atau pun terobosan yang penting dalam ilmu pengetahuan.

Berfikir ilmiah adalah berkaitan dengan kesengajaan, karena itu orang harus bertanggung jawab terhadap kerangka fikiran dan tindakannya yang disengaja dilakukan berdasarkan pada pemikiran ilmu tertentu. Keadaan itu mengandung arti bahwa seseorang yang berfikir menurut ilmu tertentu harus dapat mengemukakan secara jujur kepada kata hatinya, yang menurut kata hati mengarahkan bahsanya tindakannya itu adalah perbuatan yang baik dan yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab semacam itu juga harus diberikan kepada orang lain yang bidang ilmunya sama atau lain, ataupun    yang pada dasarnya dalah sama bahwa apa yang difikir dan dilakukannya adalah hal yang baik. Apabila etika itu berarti adapt kebiasaan, sedangkan adapt kebiasaan adalah kebudayaan, maka etika berada di belakang atau terlingkup dalam konsep kebudayaan.

Sistem pemikiran filsafat ilmu administrasai dalam kerangka berpikir secara holistik menekankan pada pendekatan pengetahuan filosofis yang memandang ilmu administrasi secara keseluruhan dan mendasar sebagai model pengembangan berpikir secara teoritikal dalam menganalisis ilmu administrasi yang berkembang. Berpikir teoritikal dalam sistem pemikiran ilmu administtrasi merupakan suatu pemikiran yang yang dijadikan landasan berpikir dalam menggambarkan dan menjelaskan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah pengembangan ilmu administrasi.

Pemikiran yang terarah dalam penerapan ilmu admnistrasi tidak terlepas dari bagaimana pionir ilmu administrasi berpikir dan berlaku etis mewujudkannya sesuai dengan nilai-nilai dalam pemikiran ilmiah dan praktik administrasi yang berkaitan dengan pemanfaatan pengetahuan yang diwujudkan secara profesional sebagai instrumen yang ampuh dalam ketatalaksanaan pelayanan yang berkualitas secara organisatoris dan memiliki daya saing keilmuan dalam bidang ilmu administrasi dan ditindaklanjuti dengan penguatan yang inovatif melalui pengujian ilmu yang mengarah pada uji penalaran berdasarkan data sebagai fakta konkrit yang dapat menghasilkan konsep baru sebagai terobosan penting yang adalah bagian yang diutamakan dari proses revolusi pengetahuan dalam pengembangan ilmu administrasi.

DAFTAR PUSATAKA

 

Achmad, Tjetjep. (1989). Filsafat Administasi dan Manajemen. Bandung: YBA-IKLUM STIA-LAN RI Jawa Barat.

Ahmadi, Asmoro. (2013). Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Atong Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. (2008). Filsafat Umum Dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia, hlm. 22.

Hakim, Atong Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. (2008). Filsafat Umum Dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.

Prawironegoro, Darsono. (2011). Filsafat Ilmu, Kajian Tentang Pengetahuan Yang Disusun Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Nusantara Consulting.

Santosa, Pandji. (2012). Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance.

Bandung: Refika Aditama.

Siagian, Sondang P. (2008). Filsafat Administrasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Syafiie, Inu Kencana. (2006). Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta.

 Tjetjep Achmad. (1989). Filsafat Administasi dan Manajemen. Bandung: YBA-IKLUM STIA-LAN RI Jawa Barat, hlm. 15.

 Uyoh Sadulloh. (2012). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, hlm. 16.

 Ziauddin Sardar. (2000). Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 22.

Selasa, 28 Juni 2022

ISLAM DAN GERAKAN KOLEKTIF SPRITUAL : SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT GERAKAN SOSIAL



Aksi sosial dalam bentuk apapun, termasuk demonstrasi adalah hal lumrah dalam sebuah negara demokrasi, begitupula apa yang kita lihat sekaligus ikuti, aksi umat islam beberapa tahun yang lalu yakni pada 14 Oktober 2016,  4 November 2016 dan aksi 2 Desember 2016 serta aksi–aksi sesudahnya, adalah sebuah rangkaian sejarah, ia bukan saja sebuah tampilan aksi damai dan demonstrasi, tapi ini adalah sebuah gerakan kolektif spritual. Aksi bela islam bukanlah aksi dan demonstrasi biasa.
Gerakan ini tumbuh dan berakar dari sebuah kesamaan pandangan, kesamaan akidah, kesamaan hati, dan kesamaan iman. Aksi bela islam adalah bukti bahwa islam adalah cahaya, penerang hati bagi penganutnya, tak ada jiwa yang rela agamanya dibawah kepada kegelapan, tak ada jiwa yang ikhlas kitab sucinya dijadikan bahan cemoohan dilapisasi tuduhan akan kebohongan, tak ada jiwa yang ikhlas ketika para ulama dan guru mereka dianggap pembohong dan penyampai kabar dusta. Semua seakan terbangun, setiap insan merasa bahwa mereka semua terhina hanya karna sebuah kalimat dari seseorang yang menganggab dirinya penguasa yang tidak pernah berfikir dari hatinya.
Aksi bela islam telah menggugah banyak hati, menyemai benih persatuan dikalangan setiap muslim dinegeri ini, penanda bagi kita bahkan dunia, bahwa aksi-aksi itu Insya Allah akan menjadi hari penerang bagi setiap kegelapan iman, hari yang dipenuhi cinta bagi mereka yang diliputi kebencian, hari yang menunjukkan Islam itu terus tegak diatas penindasan dan kezaliman. Hari-hari itu juga akan menjadi bukti, bahwa satu ayatpun dari kalimat Allah SWT, mampu menggerakkan sanubari setiap insan muslim menjadi satu kepaduan. Semua bergerak, datang kepusat negeri menyampaikan aspirasi, jutaan jiwa, puluhan organisasi islam dan organisasi sosial kemasyarakatan ambil bagian menyuarakan kebenaran iman yang hakiki. Tidak hanya di pusat negeri ini Jakarta, tapi juga berlangsung diseluruh nusantara, mereka menyuarakan satu suara, hadir dengan satu tujuan, yakni menuntut keadilan akan dugaan penistaan agama mereka.
Aksi bela islam terbukti sebagai gerakan damai, memperlihatkan bahwa semua menghormati akan hukum dinegeri ini, mempertontonkan bahwa hak asasi pasti akan dijunjung tinggi, menampilkan kedamaian dan harmonisasi dalam keberagaman patut dihargai. Aksi bela islam telah menunjukkan tidak hanya kepada kita bangsa Indonesia, tetapi juga kepada dunia, bahwa aksi ini adalah kekuatan dan wajah yang menjadi cermin ummat Islam Indonesia yang sesungguhnya. Aksi ini juga menjadi perlambang solidaritas ummat yang tinggi, Turki, Jerman, Palestina dan banyak ummat muslim di negara lainnya ikut menyuarakan solidaritas dan menunjukkan perasaan yang sama akan apa yang dirasakan ummat islam di Indonesia, aksi umat islam ini telah membuktikan energi Alqur’an itu sesungguhnya.
Gerakan kolektif spritual semacam ini, patut menjadi perhatian, ini adalah sebuah gerakan yang dilandasi ketulusan untuk menegakkan kebenaran secara bersama, akan menjadi cermin kedepan bagi bangsa ini untuk terus berupaya memperbaiki demokrasi, bahwa gerakan kolektif spritual civil society mampu mendobrak alam demokrasi. Gerakan ini yang pada awalnya bukan merupakan gerakan terorganisasi akhirnya mampu menjadi letupan dan melahirkan gelombang aksi yang begitu besar, dan ini nyata, dan siapapun di negeri ini jangan meremehkan gelombang aksi dalam gerakan spritual seperti ini. Perlu menjadi pertimbangan bahwa dalam demokrasi itu sendiri tidak hanya tuntutan sosial, ekonomi dan politik yang menjadi isu dan permasalahan bagi negeri ini, tetapi hal yang sangat sensitif seperti agama dan kepercayaan itu akan mampu membangkitkan kolektivitas ummat dan masyarakat untuk cepat bersatu menuntut perubahan.
Aksi bela Islam adalah bentuk patriotisme ummat islam, rasa kecintaan yang amat mendalam kepada agama sekaligus solidaritas nyata bagi ummatnya. Patriotisme ini adalah sumber bagi lahirnya semangat nasionalisme, semangat kecintaan dan penghargaan yang tinggi bagi negeri ini, patriotisme ummat islam adalah sebuah modal sosial yang sangat ampuh untuk menjaga nasionalisme bangsa ini, islam mengajarkan kecintaan kepada bangsa, sikap untuk mencintai negeri ini, nasionalisme dan patriotisme tidak boleh menjadi sebab lahirnya kebencian dan permusuhan antar sesama ummat apalagi antar agama dan perbedaan keyakinan.
Gerakan kolektif spritual dalam bentuk aksi bela islam adalah wujud kesadaran bersama ummat dalam suatu bangsa yang secara potensial berupaya secara bersama-sama mencapai, memperjuangkan, mempertahankan, sekaligus menunjukkan identitas, integritas, kecintaan, dan kekuatan bangsa Indonesia. Ummat islam  di negeri ini telah membingkai itu semua dalam suatu aksi dan gerakan kolektif, dimana gerakan kolektif spritual yang terbangun melahirkan tidak hanya persatuan sesama ummat islam, tetapi membuka solidaritas yang tinggi antar sesama warga negara, dan ini semua adalah wujud nasionalisme itu sesungguhnya.
Gerakan ummat islam kedepannya, niscaya akan terus berkembang dalam konsep dan pandangan yang lebih luas, berbagai bentuk konspirasi global yang dinilai akan merusak sendi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia mulai bermunculan, selain itu tantangan munculnya kembali paham dan ajaran komunisme di berbagai tempat akan menjadi sebuah masalah sosial yang luar biasa, ini semua membutuhkan persatuan dan kepedulian yang utuh dari semua kompenen bangsa ini terutama ummat islam sebagai garda terdepan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan sampai paham nasionalisme yang sudah mulai terbangun dengan baik digiring kearah yang tidak benar, karena disinilah nasionalisme bangsa Indonesia itu di uji untuk terus dapat dipertahankan.
Peran ummat islam untuk terus memupuk rasa nasionalisme, kecintaan dan penghargaan akan berdirinya bangsa ini perlu terus dilakukan, peran ulama, cendikiawan dan tokoh ummat islam sangat penting untuk terus menyerukan kebaikan dan mendorong ummat untuk terus dalam kebajikan. Alqur’an sendiri mengajarkan itu semua kepada kita :
            Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyeruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” .[1]
Peran ummat islam kedepan mutlak diperlukan, tantangan dan dinamika perkembangan jaman menuntut akan hal itu, tidak dapat kita pungkiri bahwa pada dasarnya aksi ummat islam ini adalah berawal dari bentuk ketidak dewasaan sebagian orang termasuk sebagian kelompok masyarakat atas ketidakmampuan mereka untuk menjadi toleran, dan ini tidak menutup kemungkinan akan berulang dikemudian hari nantinya.
Tantangan lainnya adalah media sosial dan perkembangan arus informasi dan globalisasi, sikap sebagian orang dalam memanfatkan media telah menyemai benih-benih intoleransi di tengah masyarakat. Sikap dan fenomena intolerasi yang sering kali muncul dari media begitu cepat menyebar secara masif ketengah masyarakat, hal ini dapat menyebabkan keretakan dan kesenjangan sosial, tidak hanya sesama ummat seagama tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya keretakan dan gesekan antara ummat beragama. Perlu kita sadari bahwa media sosial adalah jalur paling efektif untuk menyebar dan mengurai kebencian di tengah masyarakat. Oleh karena itu kedewaasaan sikap dan berfikir masyarakat harus terus dapat dipupuk dan dipelihara secara baik. Salah satu bentuk sederhana yang dapat dilakukan adalah menghargai perbedaan, menerima perbedaan dengan menghindari segala bentuk pernyataan dan ungkapan serta pikiran yang buruk terkait agama sendiri apalagi agama orang lain.
Bangsa dan rakyat Indonesia semestinya belajar dari peristiwa ini, aksi bela islam yang terjadi adalah bentuk penyuaraan demokrasi, demokrasi yang beradab dan menebarkan perdamaian. Ini adalah bagian dari wujud kecintaan, kecintaan pada agama, sekaligus kecintaan pada bangsa ini. Nasionalisme itu, tidak hanya semata berwujud bela tanah air dengan angkat senjata, tetapi ia bisa muncul dari bangunan ukhuwah ummat yang memperkokoh persatuan kita sebagai sebuah bangsa.
Pelajaran kedua yang sangat berharga adalah, bahwa gerakan sosial ummat islam dalam bentuk aksi bela islam telah membentuk suatu tatanan sosial yang lebih kuat, tidak hanya dikalangan ummat islam Indonesia, tetapi juga di tengah masyarakat Indonesia umumnya. Tatanan sosial itu berwujud kolektivitas, rasa kebersamaan, toleransi, gotong royong dan penghargaan akan nilai, norma yang lebih kuat di tengah masyarakat. Ini adalah modal sosial yang sangat penting untuk menciptakan tatanan kehidapan bermasyarakat yang lebih madani. Aksi bela islam telah melahirkan kepercayaan yang tinggi di tengah masyarakat, kepercayaan akan agama menjadi lebih mendalam, kepercayaan akan ulama lebih meningkat, serta kepercayaan akan sesama ummat lebih terasa. Jaringan sosial yang dimunculkan dari gerakan ini sangatlah luar biasa, berbagai organisasi keagamaan, sosial kemasyarakatan, bahkan kelompok kecil dalam satu wadah kebersamaan muncul di tengah masyarakat, budaya gotong royong kembali menjadi sebuah tradisi yang mampu mengikat keberagaman, wajar jika jaringan sosial yang terbentuk menjadi suatu kekuatan kolektif yang luar biasa. Aksi ini juga menjadi sebuah penghargaan akan nilai dan norma yang dimiliki bangsa ini, norma agama menjadi pengikat secara ukhuwah, norma sosial menjadi pengikat dalam keberagaman, dan penegakan hukum menjadi tuntutan untuk terciptanya norma hukum yang berkeadilan ditengah masyarakat.
Tatanan sosial yang terbentuk sedemikian hebatnya dari aksi bela islam ini adalah bentuk alami akan reformasi sosial yang tercipta di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Canda dan Furman yang menyatakan bahwa dalam agama islam memiliki pendekatan dalam reformasi sosial manusia untuk mencapai tahapan sejahtera dalam kehidupan dunia dan akhirat, bahwa :
“Karena individu dan masyarakat atau komunitas harus berorientasi meraih ridho Allah SWT, maka tidak ada pemisah antara kehidupan agama dan kehidupan dunia...Seperti nabi Muhammad SAW, mengajarkan umat muslim agar melakukan reformasi sosial berdasarkan kepentingan perempuan, anak-anak, dan kelompok – kelompok yang kurang duntungkan. Pada agama islam terdapat penekanan yang sangat kuat pada kerangka nilai keadilan sosial...”[2]

Pernyataan di atas sejalan dengan apa yang berlaku dalam aksi bela islam dan dinamika sosial yang terjadi saat ini, bahwa ini adalah bentuk reformasi sosial, dan karenanya nilai keadilan sosial itu perlu diciptakan dan ditegakkan. Aksi bela islam tidak lain adalah upaya menuntut keadilan bagi ummat islam, keadilan yang akan memperbaiki tatanan sosial dan kepercayaan yang lebih tinggi tidak hanya kepada pemegang kekuasaan di negara ini, tetapi juga kepercayaan bahwa hukum di negera ini masih ada. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Isbandi berpendapat :
“Terdapat asas dalam mengatasi masalah sosial dalam agama islam yakni reformasi sosial sebagai tanggung jawab individu dan masyarakat, yang secara menyeluruh dipandang sebagai satu kesatuan agar dapat tercipta kehidupan yang sejahtera secara kolektif sesuai dengan norma agama yang memiliki nilai pasti dalam pembangunan sosial, makna pencapaian kesejateraan ini secara kolektif juga didasarkan pada modal spritual.[3]

Aksi bela islam yang kita lihat dan ikuti bersama, tidak hanya di dasarkan pada modal spritual semata, tetapi juga telah membangun modal sosial serta aset komunitas yang luar biasa di tengah – tengah ummat islam dan rakyat Indonesia. Ini adalah hal positif yang perlu terus dibangun dan dikembangkan oleh bangsa ini, untuk memperkuat bingkai nasionalisme dan menjadi dasar bagi reformasi sosial yang lebih baik untuk menciptakan tatanan kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ummat islam telah memberikan pesan melalui aksi damai bela islam, bahwa islam dan ummatnya telah melahirkan dan memberikan cerminan suatu itikad baik uswah hasanah bagi bangsa ini, dan telah membuktikan bahwa kebersatuan ummat dalam suatu gerakan bersama mampu menjadi suatu gerakan yang membangun dan membangkitkan kembali nilai ke Indonesiaan kita. Semoga Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa melindungi dan menjaga bangsa dan rakyat Indonesia ini untuk terus melangkah menatap masa depan yang lebih baik menjadi bangsa yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.



[1] Al-Qur’an Ali Imran : 104
[2]Canda and Furman, 1999. Spritual Diversity in Social Work Practice, the Hearth of Helping. 137-140 dalam Adi, 2013:8.
[3] Isbandi Rukminto Adi. 2013. Kesejahteraan Sosial : 264

Minggu, 26 Juni 2022

FILSAFAT ILMU
(SEBUAH PANDANGAN ATAS HERMENEUTIKA)


A.           Pengantar
Mata Kuliah Filsafat Ilmu ini mencerminkan sebuah pendekatan sekaligus kajian yang menarik dan komprehensif, ada dimensi  yang dapat mempersatukan pandangan kita terhadap berbagai  unsur keilmuan.  Dimensi keilmuan itu lebih melekat dengan sebutan Tritunggal, yaitu adanya pemahaman yang substantif bagi kita tentang Filsafat sekaligus Ilmu Pengetahuan serta Budaya. Oleh karena itu, pendekatan atas ketiga hal tersebut menunjukkan kepada kita bagaimana pendekatan-pendekatan methodologis yang ada, mampu membawa kita berfikir secara rasional, yaitu berusaha menyingkap kebenaran yang didasarkan pada rasio atau rasionalitas kita berfikir dan menelaaf berbagai konsep keilmuan itu sendiri.
Dalam beberapa pertemuan tatap muka, mata kuliah filsafat ilmu ini mengulas dan membahas beberapa hal yang menarik, humanis dan memerlukan sebuah penafsiran yang utuh. Ada berbagai pandangan, teori dan kajian yang diangkat dalam setiap pertemuan, yang digambarkan secara kompleks dan runut dan kekinian. Beberapa pembahasan tersebut antara lain menyangkut filsafat dan konsep keilmuan yang pembahasannya dibawa ke arah berfikir secara rasional dengan memberikan latar dan pandangan terhadap ilmu filsafat itu sendiri serta berbagai unsur keilmuan lainnya. Bahasan lainnya yang diangkat adalah terkait filsafat budaya, Epistemologi Ilmu yang memberikan pandangan atas pengetahuan atau kebenaran dengan pendekatan yang sifatnya holistic.
Hal menarik lainnya yang diangkat dalam diskusi filsafat keilmuan ini adalah terkait dengan hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan budaya yang kita sebut tritunggal tadi, dimana dengan mempelajarinya  memperluas wawasan ilmiah kita yang memberikan petunjuk bahwa keberadaan ketiga hal tersebut serta perkembangannya akan senantiasa saling mempengaruhi. Kajian lainnya yang diangkat dalam mata kuliah ini adalah tentang landasan aksioma ilmu pengetahuan yang memberikan pandangan atas rasionalitas perkembangan ilmu pengetahuan yang ada saat ini serta alat pencapaian pengetahuan dan dimensi asketik ilmu pengetahuan itu sendiri, hal ini diperlengkap dengan adanya bahasan terkait metode keilmuan kuantitatif dan metode keilmuan kualitatif. Pada dasarnya dengan mempelajari fillsafat ilmu ini, membuka sebuah pandangan yang luas dan memberikan sebuah gambaran yang sistematis serta komprehensif atas berbagai fenomena keilmuan, budaya dan dialektika teori yang ada dalam upaya untuk memahami sebuah dimensi utuh atas struktur kehidupan kita. Karena rasionalitas kita sangat dipentingkan untuk menggubah berbagai pendekatan keilmuan itu menjadi sebuah kesimpulan akhir bagi kita dalam menentukan arah dan pola pembenaran akan banyak hal yang muncul dihadapan kita.
Ada sebuah bahasan yang menarik, yang begitu menjadi perhatian kami dalam filsafat ilmu ini, yakni apa yang disebut dengan HERMENEUTIKA. Oleh karena itu bahasan khusus yang kami angkat dalam tulisan ini adalah terkait Hermeneutika tersebut. Ketertarikan kami untuk menjadikan ini sebagai tulisan adalah melihat bahwa metode ini menggambarkan sebuah human science atas model pemahaman tentang kehidupan manusia.

B.   Sebuah Pandangan atas Hermeneutika
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus .
            Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: "the art and science of interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred scripture, and equivalent to exegesis" (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir). Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan "understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)'' terhadap teks, terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi paia pembacanya.  Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M , Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan Al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan([rennaisance]), dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli Filologi Klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang pada abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis,tropologikal eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis .Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich Ast.
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekadar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.
Ada beberapa pandangan mendasar atas hermeneutika ini yang merupakan inti dari metode ini, pandangan-pandangan itu menunjukkan sebuah gambaran yang konklisif, dimana antara lain : Dalam pandangan Friederich Sehleiermacher menyatakan bahwa pemahaman hermeneutika mempunyai dua dimensi,yakni:
1.    Penafsiran gramatikal, yang berkaitan dengan aspek linguistik yang membentuk batasan-batasan di mana sebuah kegiatan berpikir diatur. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan menggunakan metode komparatif yang bermula dari yang umum ke yang khusus. Penafsiran disebut juga penafsiran obyektif serta dapat juga dikatakan penafsiran negatif. Hal ini disebabkan hanya menunjukkan batas-batas pemahamannya saja.
2.    Penafsiran psikologis, yang berusaha menciptakan kembali tindak kreatif yang menghasilkan teks dan kegiatan sosial. Penafsiran psikologi melibatkan  penempatan seseorang dalam pikiran penulis atau actor social supaya dapat mengetahui apa yang diketahui oleh seorang penulis atau yang dipersiapkan dalam kegiatan social. Hal ini merupakan proses yang memerlukan banyak tenaga untuk menyusun konteks kehidupan tempat suatu kegiatan terjadi dan mendapatkan makna. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan metode komparasi dan semacam ramalan. Dalam metode ini pelaku hermeneutika mentransformasikan dirinya dalam diri penulis untuk menggali proses mentalnya. Penafsiran ini disebut juga penafsiran teknis. Melalui penafsiran inilah tugas seorang hermeneutic terpenuhi. Selain disebut sebagai penafsiran teknis, penafsiran ini juga disebut penafsiran positif karena berusaha memahami tindak berpikir yang melahirkan wacana.
Dalam pandangan Dilthey , yang dikenal sebagai filosof terpenting paruh kedua abad 19, hermeneutika memang bermula dari analisis psikologis akan tetapi akhirnya harus dikembangkan ke konteks sosial yang lebih luas. Dia juga berpendapat bahwa sebuah fenomena harus ditempatkan pada situasi keseluruhan yang lebih luas tempat fenomena tersebut mendapatkan maknanya, bagian-bagian memperoleh pemaknaan dari  keseluruhan dan keseluruhan mendapatkan pemaknaan dari bagian-bagian. Jadi yang menjadi penekanannya bergeser dari pemahaman empatik atau rekonstruksi proses mental orang lain kearah penafsiran hermeneutik tentang produk budaya struktur konseptual.
Sedangkan Husserl mengembangkan hermeneutikanya didasarkan pada prinsip fenomenologi. Baginya ada 3 pendapat mengenai konsep hermeneutika.,yakni: (1) Hasil sebuah penafsiran haruslah bebas dari relativitas historis dan perubahan  sosial. (2).Kesadaran harus bebas dari dugaan supaya diperoleh kebenaran mandiri. (3). Data yang bersifat apa adanya harus dibuang.
Menurut pandangan Heidegger yang merupakan murid Husserl, pemahaman adalah cara berada (mode of being) dan harus dapat dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi eksistensi manusia. Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social dan penafsiran adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam bahasa.
Menurut Gadamer dalam hermeneutika tertarik pada proses pemahaman. Pemahaman harus diletakkan dalam tradisi historis , suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik berlengsung di luar analisis teks menuju ke konteks historisnya. Ada 3 pendapat menurutntya tentang hermeneutika yakni:
1.      Kegiatan hermeneutic diterapkan pada sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada sesuatu  yang secara alami ketika dikatakan  makna sehari-hari dan situasi dimana percakapan itu terjadi.
2.      Hermeneutik dilakukan dengan cara memadukan horizon pelaku hermeneutic dan horizon teks sasaran.  Benturan dengan horizon lain akan memunculkan kesadaran yang berupa asumsi dan dugaan tentang horizon suatu makna yang belum disadari.  Dalam hal ini hermeneutika adalah penjembatan atau mediasi bukannya rekonstruksi.
3.      Pembacaan sebagai bagian dari hermeneutik melibatkan aplikasi sehingga pembaca menjadi bagian dari yang ia mengerti. Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa sebagai medium berpengalaman tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi pengalaman hermeneutik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ricoeur mengembangkan hermeneutikanya  dengan berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole serta mencarikan posisi eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan kaidah-kaidah teks menurutnya ada 3 kategori,yakni:
1.      Teks selalu mengalami pelepasan konteksnya dari kondisi sosio-historis pengungkapannya semula, karena itu teks selalu membuka diri sendiri terhadap seri pembacaan yang tidak terbatas.
2.      Teks merupakan suatu langue dan parole. Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika dianggap sebagai langue maka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan linguistic sekuat mungkin. Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks adalah perbincangan dan pada saat inilah teks ditafsirkan.  Penafsiran menurut pandangannya merupakan dialektika antara dua kegiatan tersebut.
3.      Penafsiran merupakan proses dinamis yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus diserahkan pada proses negosiasi dan debat.
Richard E. Palmer menyimpulkan bahwa dalam perkembangannya, hermeneutika terbagi dalam beberapa pembahasan yaitu :
1.    Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk hermeneutik, di sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran, melainkan metode. Tokoh utamanya adalah  J.C.Dannhauer. Pada masa ini, bentuk hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling bertolak belakang. Tokoh selanjutnya adalah Schleiermacher(1768-1834), dengan mencetuskan hermeneutika modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara metodologis. Ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
2. Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami pergeseran. Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang terpenting adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai  moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami roh yang berada di balik teks tersebut, dan menterjemahkan nya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama. Tokoh pada masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh kalangan gereja.
Kajian terpenting dari fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
3. Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari metode filologi, hermeneutika berkembang kearah sebuah ilmu yang memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu untuk memahami berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi teks. Filsuf yang banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik kepada hermeneutika adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa dikatakan semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa. Schleiermacher kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode filologi, tetapi juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi.
4. Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai penafsiran melihat fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang dikemukakan Edmund Husserl.  Dalam bukunya Being and Time (1927),  ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein. Heidegger tidak menyebut hermeneutika sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
5. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan hermeneutika kembali pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks”
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan.
6. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia) Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan pemahaman sejarah.  Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman sejarah.
7.  Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol dengan cara membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini adalah Paul Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. 
Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan pada perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.  Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis.
C.     Penutup
Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup, maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Disinilah sejatinya yang menentukan bahwa ilmu hermeneutika, itu tidak netral. seperti yang telah dibahas diatas. Karena setiap konsep dalam suatu peradaban selalu diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing tokoh, hal ini  menegaskan bahwa suatu peradaban tidak dapat begitu saja mengimport suatu konsep kecuali dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut “borrowing process”.  Jika modifikasi konsep itu melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigm Shift) tidak dapat dielakkan lagi.

Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri.  Seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.