Minggu, 26 Juni 2022

FILSAFAT ILMU
(SEBUAH PANDANGAN ATAS HERMENEUTIKA)


A.           Pengantar
Mata Kuliah Filsafat Ilmu ini mencerminkan sebuah pendekatan sekaligus kajian yang menarik dan komprehensif, ada dimensi  yang dapat mempersatukan pandangan kita terhadap berbagai  unsur keilmuan.  Dimensi keilmuan itu lebih melekat dengan sebutan Tritunggal, yaitu adanya pemahaman yang substantif bagi kita tentang Filsafat sekaligus Ilmu Pengetahuan serta Budaya. Oleh karena itu, pendekatan atas ketiga hal tersebut menunjukkan kepada kita bagaimana pendekatan-pendekatan methodologis yang ada, mampu membawa kita berfikir secara rasional, yaitu berusaha menyingkap kebenaran yang didasarkan pada rasio atau rasionalitas kita berfikir dan menelaaf berbagai konsep keilmuan itu sendiri.
Dalam beberapa pertemuan tatap muka, mata kuliah filsafat ilmu ini mengulas dan membahas beberapa hal yang menarik, humanis dan memerlukan sebuah penafsiran yang utuh. Ada berbagai pandangan, teori dan kajian yang diangkat dalam setiap pertemuan, yang digambarkan secara kompleks dan runut dan kekinian. Beberapa pembahasan tersebut antara lain menyangkut filsafat dan konsep keilmuan yang pembahasannya dibawa ke arah berfikir secara rasional dengan memberikan latar dan pandangan terhadap ilmu filsafat itu sendiri serta berbagai unsur keilmuan lainnya. Bahasan lainnya yang diangkat adalah terkait filsafat budaya, Epistemologi Ilmu yang memberikan pandangan atas pengetahuan atau kebenaran dengan pendekatan yang sifatnya holistic.
Hal menarik lainnya yang diangkat dalam diskusi filsafat keilmuan ini adalah terkait dengan hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan budaya yang kita sebut tritunggal tadi, dimana dengan mempelajarinya  memperluas wawasan ilmiah kita yang memberikan petunjuk bahwa keberadaan ketiga hal tersebut serta perkembangannya akan senantiasa saling mempengaruhi. Kajian lainnya yang diangkat dalam mata kuliah ini adalah tentang landasan aksioma ilmu pengetahuan yang memberikan pandangan atas rasionalitas perkembangan ilmu pengetahuan yang ada saat ini serta alat pencapaian pengetahuan dan dimensi asketik ilmu pengetahuan itu sendiri, hal ini diperlengkap dengan adanya bahasan terkait metode keilmuan kuantitatif dan metode keilmuan kualitatif. Pada dasarnya dengan mempelajari fillsafat ilmu ini, membuka sebuah pandangan yang luas dan memberikan sebuah gambaran yang sistematis serta komprehensif atas berbagai fenomena keilmuan, budaya dan dialektika teori yang ada dalam upaya untuk memahami sebuah dimensi utuh atas struktur kehidupan kita. Karena rasionalitas kita sangat dipentingkan untuk menggubah berbagai pendekatan keilmuan itu menjadi sebuah kesimpulan akhir bagi kita dalam menentukan arah dan pola pembenaran akan banyak hal yang muncul dihadapan kita.
Ada sebuah bahasan yang menarik, yang begitu menjadi perhatian kami dalam filsafat ilmu ini, yakni apa yang disebut dengan HERMENEUTIKA. Oleh karena itu bahasan khusus yang kami angkat dalam tulisan ini adalah terkait Hermeneutika tersebut. Ketertarikan kami untuk menjadikan ini sebagai tulisan adalah melihat bahwa metode ini menggambarkan sebuah human science atas model pemahaman tentang kehidupan manusia.

B.   Sebuah Pandangan atas Hermeneutika
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus .
            Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: "the art and science of interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred scripture, and equivalent to exegesis" (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir). Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan "understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)'' terhadap teks, terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi paia pembacanya.  Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M , Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan Al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan([rennaisance]), dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli Filologi Klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang pada abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis,tropologikal eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis .Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich Ast.
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekadar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.
Ada beberapa pandangan mendasar atas hermeneutika ini yang merupakan inti dari metode ini, pandangan-pandangan itu menunjukkan sebuah gambaran yang konklisif, dimana antara lain : Dalam pandangan Friederich Sehleiermacher menyatakan bahwa pemahaman hermeneutika mempunyai dua dimensi,yakni:
1.    Penafsiran gramatikal, yang berkaitan dengan aspek linguistik yang membentuk batasan-batasan di mana sebuah kegiatan berpikir diatur. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan menggunakan metode komparatif yang bermula dari yang umum ke yang khusus. Penafsiran disebut juga penafsiran obyektif serta dapat juga dikatakan penafsiran negatif. Hal ini disebabkan hanya menunjukkan batas-batas pemahamannya saja.
2.    Penafsiran psikologis, yang berusaha menciptakan kembali tindak kreatif yang menghasilkan teks dan kegiatan sosial. Penafsiran psikologi melibatkan  penempatan seseorang dalam pikiran penulis atau actor social supaya dapat mengetahui apa yang diketahui oleh seorang penulis atau yang dipersiapkan dalam kegiatan social. Hal ini merupakan proses yang memerlukan banyak tenaga untuk menyusun konteks kehidupan tempat suatu kegiatan terjadi dan mendapatkan makna. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan metode komparasi dan semacam ramalan. Dalam metode ini pelaku hermeneutika mentransformasikan dirinya dalam diri penulis untuk menggali proses mentalnya. Penafsiran ini disebut juga penafsiran teknis. Melalui penafsiran inilah tugas seorang hermeneutic terpenuhi. Selain disebut sebagai penafsiran teknis, penafsiran ini juga disebut penafsiran positif karena berusaha memahami tindak berpikir yang melahirkan wacana.
Dalam pandangan Dilthey , yang dikenal sebagai filosof terpenting paruh kedua abad 19, hermeneutika memang bermula dari analisis psikologis akan tetapi akhirnya harus dikembangkan ke konteks sosial yang lebih luas. Dia juga berpendapat bahwa sebuah fenomena harus ditempatkan pada situasi keseluruhan yang lebih luas tempat fenomena tersebut mendapatkan maknanya, bagian-bagian memperoleh pemaknaan dari  keseluruhan dan keseluruhan mendapatkan pemaknaan dari bagian-bagian. Jadi yang menjadi penekanannya bergeser dari pemahaman empatik atau rekonstruksi proses mental orang lain kearah penafsiran hermeneutik tentang produk budaya struktur konseptual.
Sedangkan Husserl mengembangkan hermeneutikanya didasarkan pada prinsip fenomenologi. Baginya ada 3 pendapat mengenai konsep hermeneutika.,yakni: (1) Hasil sebuah penafsiran haruslah bebas dari relativitas historis dan perubahan  sosial. (2).Kesadaran harus bebas dari dugaan supaya diperoleh kebenaran mandiri. (3). Data yang bersifat apa adanya harus dibuang.
Menurut pandangan Heidegger yang merupakan murid Husserl, pemahaman adalah cara berada (mode of being) dan harus dapat dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi eksistensi manusia. Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social dan penafsiran adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam bahasa.
Menurut Gadamer dalam hermeneutika tertarik pada proses pemahaman. Pemahaman harus diletakkan dalam tradisi historis , suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik berlengsung di luar analisis teks menuju ke konteks historisnya. Ada 3 pendapat menurutntya tentang hermeneutika yakni:
1.      Kegiatan hermeneutic diterapkan pada sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada sesuatu  yang secara alami ketika dikatakan  makna sehari-hari dan situasi dimana percakapan itu terjadi.
2.      Hermeneutik dilakukan dengan cara memadukan horizon pelaku hermeneutic dan horizon teks sasaran.  Benturan dengan horizon lain akan memunculkan kesadaran yang berupa asumsi dan dugaan tentang horizon suatu makna yang belum disadari.  Dalam hal ini hermeneutika adalah penjembatan atau mediasi bukannya rekonstruksi.
3.      Pembacaan sebagai bagian dari hermeneutik melibatkan aplikasi sehingga pembaca menjadi bagian dari yang ia mengerti. Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa sebagai medium berpengalaman tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi pengalaman hermeneutik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ricoeur mengembangkan hermeneutikanya  dengan berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole serta mencarikan posisi eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan kaidah-kaidah teks menurutnya ada 3 kategori,yakni:
1.      Teks selalu mengalami pelepasan konteksnya dari kondisi sosio-historis pengungkapannya semula, karena itu teks selalu membuka diri sendiri terhadap seri pembacaan yang tidak terbatas.
2.      Teks merupakan suatu langue dan parole. Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika dianggap sebagai langue maka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan linguistic sekuat mungkin. Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks adalah perbincangan dan pada saat inilah teks ditafsirkan.  Penafsiran menurut pandangannya merupakan dialektika antara dua kegiatan tersebut.
3.      Penafsiran merupakan proses dinamis yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus diserahkan pada proses negosiasi dan debat.
Richard E. Palmer menyimpulkan bahwa dalam perkembangannya, hermeneutika terbagi dalam beberapa pembahasan yaitu :
1.    Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk hermeneutik, di sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran, melainkan metode. Tokoh utamanya adalah  J.C.Dannhauer. Pada masa ini, bentuk hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling bertolak belakang. Tokoh selanjutnya adalah Schleiermacher(1768-1834), dengan mencetuskan hermeneutika modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara metodologis. Ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
2. Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami pergeseran. Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang terpenting adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai  moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami roh yang berada di balik teks tersebut, dan menterjemahkan nya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama. Tokoh pada masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh kalangan gereja.
Kajian terpenting dari fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
3. Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari metode filologi, hermeneutika berkembang kearah sebuah ilmu yang memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu untuk memahami berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi teks. Filsuf yang banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik kepada hermeneutika adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa dikatakan semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa. Schleiermacher kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode filologi, tetapi juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi.
4. Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai penafsiran melihat fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang dikemukakan Edmund Husserl.  Dalam bukunya Being and Time (1927),  ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein. Heidegger tidak menyebut hermeneutika sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
5. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan hermeneutika kembali pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks”
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan.
6. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia) Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan pemahaman sejarah.  Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman sejarah.
7.  Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol dengan cara membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini adalah Paul Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. 
Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan pada perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.  Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis.
C.     Penutup
Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup, maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Disinilah sejatinya yang menentukan bahwa ilmu hermeneutika, itu tidak netral. seperti yang telah dibahas diatas. Karena setiap konsep dalam suatu peradaban selalu diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing tokoh, hal ini  menegaskan bahwa suatu peradaban tidak dapat begitu saja mengimport suatu konsep kecuali dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut “borrowing process”.  Jika modifikasi konsep itu melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigm Shift) tidak dapat dielakkan lagi.

Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri.  Seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar