FILSAFAT
ILMU
(SEBUAH
PANDANGAN ATAS HERMENEUTIKA)
A.
Pengantar
Mata Kuliah Filsafat Ilmu ini mencerminkan sebuah
pendekatan sekaligus kajian yang menarik dan komprehensif, ada dimensi yang dapat mempersatukan pandangan kita
terhadap berbagai unsur keilmuan. Dimensi keilmuan itu lebih melekat dengan
sebutan Tritunggal, yaitu adanya pemahaman yang substantif bagi kita tentang
Filsafat sekaligus Ilmu Pengetahuan serta Budaya. Oleh karena itu, pendekatan
atas ketiga hal tersebut menunjukkan kepada kita bagaimana pendekatan-pendekatan
methodologis yang ada, mampu membawa kita berfikir secara rasional, yaitu
berusaha menyingkap kebenaran yang didasarkan pada rasio atau rasionalitas kita
berfikir dan menelaaf berbagai konsep keilmuan itu sendiri.
Dalam beberapa pertemuan tatap muka, mata kuliah filsafat
ilmu ini mengulas dan membahas beberapa hal yang menarik, humanis dan
memerlukan sebuah penafsiran yang utuh. Ada berbagai pandangan, teori dan
kajian yang diangkat dalam setiap pertemuan, yang digambarkan secara kompleks
dan runut dan kekinian. Beberapa pembahasan tersebut antara lain menyangkut
filsafat dan konsep keilmuan yang pembahasannya dibawa ke arah berfikir secara
rasional dengan memberikan latar dan pandangan terhadap ilmu filsafat itu
sendiri serta berbagai unsur keilmuan lainnya. Bahasan lainnya yang diangkat
adalah terkait filsafat budaya, Epistemologi Ilmu yang memberikan pandangan
atas pengetahuan atau kebenaran dengan pendekatan yang sifatnya holistic.
Hal menarik lainnya yang diangkat dalam diskusi filsafat
keilmuan ini adalah terkait dengan hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan
dan budaya yang kita sebut tritunggal tadi, dimana dengan mempelajarinya memperluas wawasan ilmiah kita yang
memberikan petunjuk bahwa keberadaan ketiga hal tersebut serta perkembangannya
akan senantiasa saling mempengaruhi. Kajian lainnya yang diangkat dalam mata
kuliah ini adalah tentang landasan aksioma ilmu pengetahuan yang memberikan
pandangan atas rasionalitas perkembangan ilmu pengetahuan yang ada saat ini
serta alat pencapaian pengetahuan dan dimensi asketik ilmu pengetahuan itu
sendiri, hal ini diperlengkap dengan adanya bahasan terkait metode keilmuan
kuantitatif dan metode keilmuan kualitatif. Pada dasarnya dengan mempelajari
fillsafat ilmu ini, membuka sebuah pandangan yang luas dan memberikan sebuah
gambaran yang sistematis serta komprehensif atas berbagai fenomena keilmuan,
budaya dan dialektika teori yang ada dalam upaya untuk memahami sebuah dimensi
utuh atas struktur kehidupan kita. Karena rasionalitas kita sangat dipentingkan
untuk menggubah berbagai pendekatan keilmuan itu menjadi sebuah kesimpulan
akhir bagi kita dalam menentukan arah dan pola pembenaran akan banyak hal yang
muncul dihadapan kita.
Ada sebuah bahasan yang menarik, yang begitu menjadi
perhatian kami dalam filsafat ilmu ini, yakni apa yang disebut dengan HERMENEUTIKA. Oleh karena itu bahasan
khusus yang kami angkat dalam tulisan ini adalah terkait Hermeneutika tersebut.
Ketertarikan kami untuk menjadikan ini sebagai tulisan adalah melihat bahwa
metode ini menggambarkan sebuah human
science atas model pemahaman tentang kehidupan manusia.
B.
Sebuah
Pandangan atas Hermeneutika
Hermeneutika adalah salah
satu jenis filsafat yang
mempelajari tentang interpretasi makna. Nama
hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien
yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut
lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas
sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh
para dewa-dewa di Olympus .
Menurut
istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: "the art and science of interpreting especially authoritative
writings; mainly in application to sacred scripture, and equivalent to
exegesis" (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan
berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan
tafsir). Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat
yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan "understanding of
understanding (pemahaman pada pemahaman)'' terhadap teks, terutama teks
Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta situasi sosial yang
asing bagi paia pembacanya. Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak
munculnya buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar
tindakan hermeneutis.Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai
tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M , Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran
Aristoteles ini untuk menginterpretasikan Al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika,
untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan([rennaisance]), dari akhir
abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad
pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli Filologi Klasik. Empat tingkatan interpretasi yang
berkembang pada abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris
eksegesis,tropologikal
eksegegis,
dan eskatologis
eksegesis,
direduksi menjadi Literal dan gramatikal
eksegesis
.Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich Ast.
Hermeneutika kemudian keluar dari
disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat tingkatan interpretasi
abad pertengahan ketika Schleiermacher menyatakan bahwa proses
interpretasi jauh lebih umum dari sekadar mencari makna dari sebuah teks. Ia
kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal
tersebut disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan
konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang
baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika
adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di
setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang
tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk
menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir sebagai paham baru yang
merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses
Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. Usahanya
mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan
Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya
sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.
Hermeneutika
di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia kembali
mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja,
cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan
sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger.
Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya,
bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami
realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.
Ada
beberapa pandangan mendasar atas hermeneutika ini yang merupakan inti dari
metode ini, pandangan-pandangan itu menunjukkan sebuah gambaran yang konklisif,
dimana antara lain : Dalam pandangan Friederich Sehleiermacher
menyatakan bahwa pemahaman hermeneutika mempunyai dua dimensi,yakni:
1. Penafsiran
gramatikal, yang berkaitan dengan aspek linguistik yang membentuk
batasan-batasan di mana sebuah kegiatan berpikir diatur. Dalam penafsiran ini,
pendekatan yang digunakan dengan menggunakan metode komparatif yang bermula
dari yang umum ke yang khusus. Penafsiran disebut juga penafsiran obyektif
serta dapat juga dikatakan penafsiran negatif. Hal ini disebabkan hanya
menunjukkan batas-batas pemahamannya saja.
2. Penafsiran
psikologis, yang berusaha menciptakan kembali tindak kreatif yang menghasilkan
teks dan kegiatan sosial. Penafsiran psikologi melibatkan penempatan
seseorang dalam pikiran penulis atau actor social supaya dapat mengetahui apa
yang diketahui oleh seorang penulis atau yang dipersiapkan dalam kegiatan
social. Hal ini merupakan proses yang memerlukan banyak tenaga untuk menyusun
konteks kehidupan tempat suatu kegiatan terjadi dan mendapatkan makna. Dalam
penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan metode komparasi dan semacam
ramalan. Dalam metode ini pelaku hermeneutika mentransformasikan dirinya dalam
diri penulis untuk menggali proses mentalnya. Penafsiran ini disebut juga
penafsiran teknis. Melalui penafsiran inilah tugas seorang hermeneutic
terpenuhi. Selain disebut sebagai penafsiran teknis, penafsiran ini juga
disebut penafsiran positif karena berusaha memahami tindak berpikir yang
melahirkan wacana.
Dalam pandangan Dilthey , yang dikenal
sebagai filosof terpenting paruh kedua abad 19, hermeneutika memang bermula
dari analisis psikologis akan tetapi akhirnya harus dikembangkan ke konteks sosial
yang lebih luas. Dia juga berpendapat bahwa sebuah fenomena harus ditempatkan
pada situasi keseluruhan yang lebih luas tempat fenomena tersebut mendapatkan
maknanya, bagian-bagian memperoleh pemaknaan dari keseluruhan dan
keseluruhan mendapatkan pemaknaan dari bagian-bagian. Jadi yang menjadi
penekanannya bergeser dari pemahaman empatik atau rekonstruksi proses mental
orang lain kearah penafsiran hermeneutik tentang produk budaya struktur
konseptual.
Sedangkan Husserl mengembangkan
hermeneutikanya didasarkan pada prinsip fenomenologi. Baginya ada 3 pendapat mengenai
konsep hermeneutika.,yakni: (1)
Hasil sebuah penafsiran haruslah bebas dari relativitas
historis dan perubahan sosial. (2).Kesadaran harus bebas dari
dugaan supaya diperoleh kebenaran mandiri. (3). Data
yang bersifat apa adanya harus dibuang.
Menurut pandangan Heidegger yang merupakan
murid Husserl, pemahaman adalah cara berada (mode of being) dan harus dapat
dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi eksistensi manusia.
Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social dan penafsiran
adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam bahasa.
Menurut Gadamer dalam hermeneutika tertarik
pada proses pemahaman. Pemahaman harus diletakkan dalam tradisi historis ,
suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik berlengsung di luar analisis
teks menuju ke konteks historisnya. Ada 3 pendapat menurutntya tentang
hermeneutika yakni:
1. Kegiatan
hermeneutic diterapkan pada sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada
sesuatu yang secara alami ketika dikatakan makna sehari-hari dan
situasi dimana percakapan itu terjadi.
2. Hermeneutik
dilakukan dengan cara memadukan horizon pelaku hermeneutic dan horizon teks
sasaran. Benturan dengan horizon lain akan memunculkan kesadaran yang
berupa asumsi dan dugaan tentang horizon suatu makna yang belum disadari.
Dalam hal ini hermeneutika adalah penjembatan atau mediasi bukannya
rekonstruksi.
3. Pembacaan
sebagai bagian dari hermeneutik melibatkan aplikasi sehingga pembaca menjadi
bagian dari yang ia mengerti. Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa
sebagai medium berpengalaman tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi
pengalaman hermeneutik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ricoeur mengembangkan
hermeneutikanya dengan berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi
langue dan parole serta mencarikan posisi eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah
penafsiran. Dan kaidah-kaidah teks menurutnya ada 3 kategori,yakni:
1. Teks
selalu mengalami pelepasan konteksnya dari kondisi sosio-historis
pengungkapannya semula, karena itu teks selalu membuka diri sendiri terhadap
seri pembacaan yang tidak terbatas.
2. Teks
merupakan suatu langue dan parole. Begitu juga dalam proses pemahamannya.
Ketika dianggap sebagai langue maka teks harus diperlakukan sesuai
dengan aturan linguistic sekuat mungkin. Dan ketika dianggap sebagai parole
maka teks adalah perbincangan dan pada saat inilah teks ditafsirkan.
Penafsiran menurut pandangannya merupakan dialektika antara dua kegiatan
tersebut.
3. Penafsiran
merupakan proses dinamis yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus
diserahkan pada proses negosiasi dan debat.
Richard E. Palmer menyimpulkan bahwa dalam perkembangannya,
hermeneutika terbagi dalam beberapa pembahasan yaitu :
1.
Hermeneutika
sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk
hermeneutik, di sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci,
terutama oleh kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran,
melainkan metode. Tokoh utamanya adalah J.C.Dannhauer. Pada masa ini,
bentuk hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling
bertolak belakang. Tokoh
selanjutnya adalah Schleiermacher(1768-1834), dengan mencetuskan hermeneutika
modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam
interpretasi secara metodologis.
Ia yang
memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible)
menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh
ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks
historis, dan konteks kultural.
2. Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian teks
dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman awal bahwa
hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami pergeseran.
Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang terpenting
adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai
moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami roh yang berada di
balik teks tersebut, dan menterjemahkan nya secara rasional sesuai konteks yang
berlaku. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan
proses demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama. Tokoh pada
masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh
kalangan gereja.
Kajian terpenting dari fungsi metodologi filologi,
hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari
teks yang ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang
ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi
yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang ahli
sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis dari teks yang
dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
3. Hermeneutika
sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari metode filologi, hermeneutika berkembang kearah
sebuah ilmu yang memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu
untuk memahami berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi
teks. Filsuf yang banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik kepada
hermeneutika adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa dikatakan
semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa.
Schleiermacher kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode
filologi, tetapi juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”.
Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan
Filologi.
4. Hermeneutika
sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai
penafsiran melihat fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan
bahasa sebagai instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan berbagai
problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang dikemukakan Edmund
Husserl. Dalam bukunya Being and Time (1927), ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein,
yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein. Heidegger tidak menyebut hermeneutika
sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi
ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu
sendiri. Dalam konteks ini, hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan
“pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian,
hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya
merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia
merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara
fenomenologis.
5. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan
hermeneutika kembali pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif
serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis
Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran,
yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga
dapat disebut sebagai teks”
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol
univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna,
seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang
merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki
bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks
simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah
membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan
sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini
maupun masa depan.
6. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti
disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften
(semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan
manusia) Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan
pemahaman sejarah. Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman
sejarah.
7. Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan
penafsiran dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol
dengan cara membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini
adalah Paul Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan
percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi
juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya.
Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan
pada perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-),
tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang
melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran
dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan
gender. Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika
dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika
fenomenologis.
C.
Penutup
Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup, maka ia
memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan
metafisika. Disinilah sejatinya yang menentukan bahwa ilmu hermeneutika, itu
tidak netral. seperti yang telah dibahas diatas. Karena setiap konsep dalam
suatu peradaban selalu diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing tokoh, hal
ini menegaskan bahwa suatu peradaban
tidak dapat begitu saja mengimport suatu konsep kecuali dengan proses
modifikasi konseptual atau apa yang disebut “borrowing process”. Jika modifikasi konsep itu melibatkan
konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigm
Shift) tidak dapat dielakkan lagi.
Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan
memahami penulis melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri. Seorang
sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di
mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika
dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun
pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan
keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat
segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya
terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam
konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan.
Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan
metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar